One Day In Jakarta (Bagian Pertama)

  "One Day In Jakarta" merupakan judul yang sama dengan sebuah buku yang ditulis oleh Thibault Gregoire, seorang jurnalis asing yang beberapa saat tinggal di ibukota. Buku yang secara tak sengaja saya baca ketika menumpang nginap di asrama banjar Demang Lehman Bandung. Buku ini memuat banyak foto tentang kehidupan warga-warga Jakarta. Foto-foto hasil jepretan Thibault sungguh realistik dan memuat pesan mendalam. Maka membagi kisah pengalaman saya di Jakarta kali ini cukup masuk akal dan ilmiah (?).


Jakarta adalah kota yang membuat saya ekstra hati-hati sekaligus menantang. Berita-berita di televisi dan koran yang memuat reportase kriminal kadang membuat tercengang. Namun, kali ini mau tidak mau saya harus ke Jakarta karena alasan yang masuk akal dan mendesak dan setelah itu ingin jalan-jalan. Maka ketika sudah menyelesaikan urusan tersebut, segera saja  kuhubungi teman semasa SMA dulu, Robby Adwa Pahlevi, seorang fotografer merangkap atlet bulu tangkis dan juga mahasiswa STIS. Kemana akan pergi pun tak tau karena Jakarta gelap bagi bujang seperti saya.

Sing penting silaturrahmi disek.

Menuju kos Robby atau ke STIS, jika menggunakan KRL dapat turun di Stasiun Duren Kalibata, kemudian naik angkot 16 arah Otista. Kalau pakai busway, tinggal turun di halte BIdara Cina. Hari pertama jalan-jalan ini, Robby menyarankan untuk pergi ke museum nasional. Baiklah.

Museum Nasional, atau bisa disebut juga museum gajah, terletak di jalan Merdeka Barat di sekitaran Monas. Untuk mencapainya bisa naik busway turun di halte monas (kalau nggak salah). Tiket busway seharga 3.500 rupiah namun sekarang semua koridor memakai e-ticket atau tap cash. Jadi, harus punya kartunya dulu. Kartu bisa dibeli di koridor busway seharga Rp. 40.000 dengan rincian harga kartu 20rb dan saldo 20 rb.

Oke, akhirnya tiba di museum Gajah
Ada penampakan monas di belakang

Harga tiket masuk Museum Gajah sendiri hanya 5000 rupiah per orang, murah dan meriah dengan jam buka pukul 8 pagi sampai 4 sore. Sepertinya, museum ini ada untuk merangkum segala macam budaya suku-suku di Indonesia. Contoh: alat musik, alat makan, rumah adat, prasasti, regalia kerajaan, alat upacara adat dan segala macamnya. Bahkan, ada ruang khusus tersendiri untuk pulau-pulau Indonesia, semacam ruang papua, ruang sumatera dan lainnya






Sayangnya saya sangat kecewa ketika mengetahui ruang kalimantan sedang direnovasi sehingga pengunjung dilarang untuk masuk.  Oh ya, pada beberapa ruangan, seperti ruangan perhiasan atau regalia kerajaan biasanya tidak boleh mengambil foto, namun selebihnya diperbolehkan. Puas melihat dan membaca perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi museum yang tak kalah bikin penasaran: Museum Taman Prasasti

Museum Taman Prasasti, pertama kali saya mengetahuinya melalui sebuah novel fiksi-konspirasi karya Rizki Ridyasmara berjudul Jacatra Secret (misteri simbol satanic di Jakarta). Penasaran dengan tempat tersebut, maka kami memutuskan untuk pergi kesana yang ternyata letaknya tak begitu jauh dari museum Gajah. Jika berjalan kaki, sekitar 1 kiloan. Museum Taman Prasasti sendiri terletak di Jalan Tanah Abang.




Museum ini isinya adalah sebagian kuburan orang-orang asing. Tempat ini layak dijadikan objek foto karena bernilai seni tinggi. Tiket masuk seharga 4 atau 3 ribu saya lupa persisnya berapa,


Ini yang di novel jactatra secret
Nemu makamnya Soe Hok Gie

Dengan biaya masuk yang murah, wisata bertema budaya ini layak untuk dijajal, pengetahuan pun bertambah. Alhamdulillah.

Kami kembali ke depan museum nasional. Selanjutnya, jujur bingung mau pergi kemana. Tetiba Robby berbicara tentang bus City Tour Jakarta yang gratis tersebut. Aku pun mengangguk iya. Masalahnya cuma satu, dimana tempat berhentinya bus berwarna biru ini. Baiklah, Google. Selagi asyik googling, tiba-tiba saja, bus City Tour bertingkat dua ini berhenti sekitar 20 meter dari kami, seperti hantu saja. Segera saja kami naik, dan ternyata bus nya full AC dengan cuaca habis hujan, membuat sekujur dingin dan dramatis. Jalur bus City Tour sendiri aku tak begitu hafal, namun seingat sekejap melewati Masjid Istiqlal, Kathedral, Lapangan Banteng dan Bundaran HI dan lain-lain. Semuanya gratis,



Perjalanan di hari sabtu ini, ditutup dengan sholat magrib di Masjid Istiqlal dengan terlebih dahulu berjalan kaki membelah monas. Namun, dalam perjalanan menuju masjid, kejadian tak terduga menimpa kami, saya khususnya. Ada Apa? Nantikan cerita selanjutnya (BERSAMBUNG)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wawancara dengan Alfa Maqih

Pindah

Pelajaran dari Ta Lo Xa Chung Cu