Pindah

Ini merupakan tulisan saya yang pertama di 2019. Alasan saya tidak melahirkan (h a d e h) tulisan lagi adalah karena saya emang kurang motivasi aja alias malas. Menyebalkan memang tapi itulah yang terjadi dan saya harus akui itu. Padahal, banyak kejadian menarik sampai dengan november ini. Dimulai dari perpindahan saya dari Surabaya ke Jakarta pada Mei lalu.

Surabaya merupakan kota yang ideal untuk tinggal. Kemana-mana cuma butuh waktu satu jam. Meski cuacanya panas sekali, tapi sumpah Surabaya suasanaya enak. Kulinernya pun enak. Sebut saja Pecel Rawon Pucang, Acil Bungas, Warung Emak, dan lain-lain. Dua nama terakhir kemungkinan pada nggak tau karena anak-anak asrama Pucang aja yang tau. Intinya, Surabaya ideal.


Takdir tidak berkata demikian. Saya diterima bekerja di Jakarta pada Mei lalu. Kondisi pada waktu itu sungguh menarik ketika saya harus berangkat ke Jakarta pada 1 Mei pukul 9 pagi, sementara malamnya, tanggal 30 April pukul 00:00 saya masih lembur di kantor mengejar Pelaporan SPT Tahunan Badan. Namun pada akhirnya saya tidak terlambat dan tetap berangkat tepat waktu untuk pindah ke Jakarta.

Soal perpindahan, bukan hal yang baru bagi saya. Tahun 2011 yang lalu saya "pindah" ke kota Malang, kota kelahiran saya untuk berkuliah di Universitas Brawijaya (Diploma). Kalau Surabaya ideal, maka Malang sangat ideal untuk ditinggali. Kota inilah yang membuat saya berkembang, memiliki banyak sahabat dan bergabung dengan organisasi hebat. Tak lupa membentuk klub Futsal Bidawang bersama teman-teman. Tak ada kenangan pahit disini. Kalaupun ada, saya sudah lupa.

Ah, jadi rindu.

Kemudian, setelah lulus dan menganggur selama beberapa bulan, pada Mei 2015 saya pindah ke Sidoarjo untuk bekerja. Untuk pertama kalinya saya menghasilkan uang dari tangan sendiri. Sedikit bangga, banyak khilafnya. Singkat cerita, setahun bekerja, saya pindah lagi ke Surabaya karena sesuatu yang masuk akal: Kuliah S1 sambil tetap bekerja, Setiap senin-jumat, malam harinya saya kuliah di Universitas Airlangga setelah siangnya bekerja di Sidoarjo. Pulang Pergi, selama dua tahun setengah. Saya pun pindah dari awalnya ngekos ke Asrama Mahasiswa Kalimantan Selatan Hasanuddin HM di daerah Pucang, Surabaya. Letaknya sangat strategis.

Sekarang saya tinggal di kota Jakarta. Tidak pernah sebelumnya saya berpikir untuk kerja disini. Pikiran saya, Jakarta macet, Jakarta penuh kriminalitas dan masalah urban lainnya. Setelah enam bulan disini, ya benar juga ternyata. Untuk kemacetan sebenarnya saya biasa saja dan tidak kaget karena trayek saya pulang pergi kerja di Surabaya lebih macet daripada di Jakarta (tau depan Royal Plaza kan?). Belum lagi macetnya jalan menuju ke Malang arah Surabaya ketika weekend tiba.

Jakarta sepertinya agak spesial dan dikhususkan. Pernah sebelumnya saya berpikir di kota ini banyak orang yang memakai topeng yang banyak, tapi dalam beberapa kasus, Jakarta justru membuka topeng tersebut dan watak aslinya kelihatan. Asumsi ini saya ambil ketika saya terkaget-kaget dengan kelakuan orang-orang bahkan di minggu-minggu awal saya berada di Jakarta. 

Hal-hal yang belum pernah saya alami di kota lain, tetiba datang secara beruntun di Jakarta. Diantaranya: beberapa orang menghilang tanpa kabar, hampir dicium bencong di Cempaka Putih, dan cedera engkel. Sedih sih namun beginilah hidup. Dianggap sok bijak? Saya berusaha untuk tidak peduli dan hidup ini dijalani saja, sambil tawakal. Untuk pekerjaan saya mencoba untuk selalu 100% meski tidak menyukai pekerjaan itu. Saya senang disini, di Kemayoran

Akan tetapi kemana pun saya pindah, pergi ataupun kabur, tentu saja rumah itu tetaplah sama: Banjarmasin. Tidak akan mungkin saya melupakan kota yang telah membentuk saya. Tanah Kalimantan, wa bil khusus Banjarmasin memiliki bau yang berbeda meski kadang yang saya cium hanyalah bau-bau kekalahan. Saya tetap cinta kok.

Sekarang, mari kita pertahankan yang ada (genggam erat kalau emang berharga), perluas pergaulan kalau bisa, dan ikhlaskan yang telah pergi.



UPPRD Setiabudi, 21 November 2019

Komentar

  1. mungkin hidup memang ditakdirkan seperti perjalanan. kita dipaksa untuk mengikhlaskan jejak langkah dan mencari pijakan baru demi sebuah tujuan.

    BalasHapus
  2. Menarik alur ceritanya mengalir indah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wawancara dengan Alfa Maqih