Melahirkan Generasi Melek Sejarah: Sebuah Refleksi Hari Pahlawan


       Bung Karno pernah berucap agar jangan sekali-kali kita melupakan sejarah. Ungkapan itu bukan ada benarnya, tapi memang benar adanya. Sejarah membuat kita tahu jati diri bangsa ini. Sejarah menungkap kebenaran meski sering di pelintir. Sejarah mengharuskan kita untuk belajar dari masa lalu. Itulah arti penting sejarah dalam pandangan saya. Bicara sejarah, tiap tanggal 10 November di Indonesia diperingati hari pahlawan nasional. Tanggal 10 November dijadikan hari pahlawan sebab pada hari itu, 68 tahun yang lalu terjadi pertempuran besar di kota Surabaya yang menimbulkan banyak pejuang berjatuhan melawan penjajah Inggris yang diboncengi tentara NICA (Belanda). Setidaknya hal itulah yang saya dapat ketika belajar sejarah di bangku sekolah dulu. 
      Waktu itu, tokoh utamanya adalah Bung Tomo, yang lahir pada 3 Oktober 1920. Pidato beliau yang begitu bergelora disertai seruan takbir mampu membakar jiwa patriot arek-arek suroboyo untuk melawan penjajah. Berikut transkrip pidato beliau:



“Bismillahirrohmanirrohim. Merdeka!! Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu. Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ini ingin mendengarken jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarken jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini, tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian:“Hai, tentara Inggris, kau mengendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kamu menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kami rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Untuk itu, sekalipun kita tahu bahwa kau sekalian akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita:“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebu (di copy-paste dari voa-islam.com)

      Begitu menggetarkan. Coba bayangkan bila kita berada di Surabaya pada waktu Bung Tomo berpidato diatas. Pasti semangat jihad kita terbakar habis. Apa jiwa patriot anda sudah bangkit? Seruan takbir ini jarang dibahas dan perlu diangkat lagi menjadi suatu topik yang menarik. Apabila kita tarik ke belakang tentunya masih banyak lagi peran Islam dalam periode perjuangan kemerdekaan Indonesia yang perlu kita gali. Mungkin karena kita orang jarang baca satu benda yang bernama buku.
       Gara-gara malas membaca, pengetahuan saya soal sejarah lumayan memprihatinkan. Hal ini saya sadari setelah sedikit-sedikit membaca buku yang berjudul "Api Sejarah" volume 1 karya Ahmad Mansur Suryanegara. Dibuku itu, sesuai dengan kata-kata yang tertera di covernya, mengungkap fakta yang tersembunyi dan yang disembunyikan. Banyak sekali fakta-fakta yang belum saya ketahui terutama mengenai sejarah Islam di Indonesia. Penulisan sejarah tentang Indonesia banyak yang mengesampingkan peran Islam di dalamnya. Contohnya adalah penetapan hari pendidikan dan hari kebangkitan nasional yang penuh kontroversi. Satu tulisan terlalu sedikit untuk membahas buku fenomenal tersebut. Selengkapnya baca sendiri kawan, sangat direkomendasikan.
      Jika sudah membaca buku tersebut, maka kemungkinan anda terkejut dan semakin penasaran. Semakin dibaca semakin seru dan menarik. Hal yang bertolak belakang dengan buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang cenderung monoton dan membosankan. Penyebabnya, buku-buku sejarah rata-rata hanya data dan fakta tanpa ada kalimat dan paragraf yang persuasif dan membangkitkan gelora patriot di dada. Mungkin ini bisa jadi koreksi.
        Sampai beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah novel yang mengisahkan sejarah Laksamana Cheng Ho. Novel sejarah, dalam pandangan saya adalah sejarah yang dibuat indah dengan penambahan bahasa yang menarik dan ada dialognya meski mungkin fiktif namun hakikatnya atau inti ceritanya sama. Hasilnya novel sejarah lebih nyaman dibaca dengan catatan tidak mengurangi keakuratan data dan fakta yang ada. Hal ini merupakan salah satu solusi -setidaknya menurut saya- agar rakyat Indonesia khususnya pelajar dan mahasiswa lebih melek sejarah.
          Solusi kedua, ada pada guru sejarah. Bagaimana guru-guru sejarah membawa muridnya lebih meresapi makna-makna dan nilai moral serta pelajaran yang dapat diambil dari sejarah. Guru sejarah juga sebisa mungkin mengajar dengan gaya bercerita atau mendongeng. Teringat bapak guru IPS (waktu itu belum ada sejarah) di SD saya dulu. Walau lupa nama beliau, namun saya ingat bagaimana muka beliau dan cara beliau. Bapak guru dalam mengajar hanya duduk di depan meja namun mengisahkan sejarah dengan begitu bersemangat, sangat berbeda dengan guru saya di SMP maupun SMA. Beliau sangat bersemangat meski sudah sepuh. Bahkan saya sampai sekarang masih ingat secuil pelajaran dari beliau yaitu istilah BPUPKI dan PPKI dalam bahasa Jepang.
          
       Jadi, solusi ada di buku dan di pendidik. Nah, semoga bisa dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan di bidang kependidikan
        



  
Malang, 13 November 2013        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Selama Pandemi

Pindah

5 Hal Ini Jangan Diabaikan Bila Ingin Selamat Hidup di Kalimantan